Kamis, 31 Januari 2019

TERJEMAH SAFINATUN NAJA DAN KASIFATUS SAJA LENGKAP ( BAGIAN 3)

TERJEMAH SAFINATUN NAJA DAN KASIFATUS SAJA ( BAGIAN 3)


●MAKNA SYAHADAT
Makna Syahadat Tauhid
Tidak ada Tuhan yang berhak, layak, dan pantas untuk disembah dan ditaati perintah dan dijauhi larangan-Nya kecuali Allah.

◆◆TANDA - TANDA BALIGH◆◆
Alaamaatul Buluughi Tsalaatsun :
Tamaamu Khomsa ‘Asyaro Sanatan Fidzdzakari Wal Untsaa ,
Wal Ihtilaamu Fidzdzakari Wal Untsaa Litis’i Siniina , Wal Haidhu Fil Untsaa Litis’i Siniina

Tanda-tanda Baligh ada 3 :
Sempurna umurnya 15 tahun pada laki-laki dan perempuan ,
dan mimpi pada laki-laki dan perempuan bagi umur 9 tahun ,
dan dapat haid pada perempuan bagi umur 9 tahun .

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Tanda Aqil Baligh laki-laki dan perempuan
Laki-laki yang menginjak dewasa, ditandai dengan bermimpi peristiwa yang tidak pernah dialaminya di alam nyata,
seperti bersenggama dengan seorang perempuan dan dengan sebab mimpi indah tersebut mengakibatkan keluarnya sperma yang sejak kecil tersimpannya.
Dan biasanya laki-laki yang mengalami peristiwa tersebut pada usianya yang ke-15 tahun.
Jika laki-laki yang sudah berusia 15 tahun dan sudah mengeluarkan sperma (mani) maka ia termasuk laki-laki dewasa yang sudah aqil baligh dan mukallaf, yaitu seseorang yang wajib menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.

Sedangkan perempuan yang sudah mengeluarkan darah haidl biasanya keluar pada umur 9 tahun sudah termasuk perempuan dewasa yang sudah aqil baligh dan mukallaf.
Darah haidl adalah darah yang keluar dari vagina perempuan pada usia 9 tahun ke atas, dalam kondisi sehat, tidak dengan sebab sakit,
dan tidak dengan sebab melahirkan.
Warna darah haidl adalah hitam pekat dan panas.
Sebab jika darah tersebut keluar dengan sebab sakit maka bukan lagi darah haidl melainkan darah istihadhal;
sedangkan jika dengan sebab melahirkan maka dinamakan darah nifas.

SYARAT ISTINJA
Syuruuthul Istinjaai Bilhajari Tsamaaniyatun :
An Yakuuna Bitsalaatsati Ahjaarin ,
Wa An Yunqiya Al-Mahalla ,
Wa An Laa Yajiffa An-Najisu,
Walaa Yantaqila ,
Walaa Yathroa ‘Alaihi Aakhoru ,
Walaa Yujaawiza Shofhatahu Wahasyafatahu ,
Walaa Yushiibahu Maaun , Wa An Laa Takuuna Al-Ahjaaru Thoohirotan

Syarat-syarat Istinja dengan batu itu 8 :
Bahwa adalah orang yg berisitinja itu dengan 3 batu ,
dan bahwa ia membersihkan tempat keluarnya najis ,
dan bahwa tidak kering najisnya itu ,
dan tidak berpindah najisnya itu ,
dan tidak datang atasnya oleh najis yg lain ,
dan jangan melampaui najisnya itu akan shofhahnya dan hasyafahnya , dan jangan mengenai najis itu akan ia oleh air ,
dan bahwa adalah batunya itu suci

Syarh atau Penjelasan Kitab Safinah an-Najah
Bersuci Dengan Batu
Bersuci adalah wajib bagi segala bentuk kotoran dan najis berupa air kencing, tai, darah, dan lain-lain yang keluar dari salah satu kedua jalan, dimana penyuciannya dapat menggunakan air atau menggunakan batu atau sejenis batu,
yaitu benda padat dan keras yang suci dan bukan benda yang dimulyakan menurut Islam.

Ada dua alat atau benda yang dapat digunakan untuk bersuci,
yaitu air dan batu.
Masing-masing memiliki syarat-syaratnya sendiri agar dapat digunakan sebagai alat untuk bersuci.
Di fasal (bab) ini telah diulas 8 syarat bersuci dengan menggunakan batu.
Kita boleh bersuci hanya dengan menggunakan air yang telah memenuhi syarat untuk menghilangkan najis atau kotoran.
Namun, yang lebih utama adalah menggunakan air dan batu sekaligus dalam mensucikan najis.
Caranya adalah pertama-tama dengan menggunakan batu agar dapat menghilangkan kotoran atau najisnya,
dan kemudan langkah kedua disusul dengan menggunakan air agar dapat menghilangkan sisa-sisa kotoran yang masih ada atau masih menempel di badan.
Namun sejatinya, jika hendak memilih salah satu dari air dan batu, maka yang lebih utama untuk bersuci adalah dengan menggunakan air. Meski dengan menggunakan batu juga boleh asalkan yang sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan tersebut.

★★★★★★★★


FARDHU WUDHU

Furuudh Al-Wudhuui Sittatun :
Al-Awwalu Anniyyatu , Ats-Tsaani Ghoslu Al-Wajhi ,
Ats-Tsaalitsu Ghoslu Al-Yadaini Ma’a Al-Mirfaqoini,
Ar-Roobi’u Mashu Syaiin Min Ar-Ro’si ,
Al-Khoomisu Ghoslu Ar-Rijlaini Ilaa Al-Ka’baini ,
As-Saadisu At-Tartiibu

Fardhu-fardhu Wudhu itu 6 :
Yang pertama Niat ,
yg kedua membasuh wajah ,
yg ketiga membasuh 2 tangan beserta 2 sikut ,
yg keempat menyapu sebagian dari kepala ,
yg kelima membasuh 2 kaki sampai 2 mata kaki ,
yg keenam tertib

Penjelasan :
Fardlu Wudlu ada Enam
Pertama, niat.
Definisi niat menurut kebahasaan adalah menyengaja (qashdu),
dan menurut istilah niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan mengejakannya.
Sebab, jika pekerjaannya diakhirkan maka dinamakan ‘azam (cita-cita), jadi bukan niat lagi.
Tempatnya niat adalah di hati.
Berarti jika niat dalam konteks wudlu,
maka niat dihadirkan dalam hati ketika mengerjakan pekerjaan bembasuh wajah sebagai pekerjaan pertama dalam wudlu.

Kalimat niat dalam wudlu yaitu
"Nawaytu al-wudlua li-raf’i al-hadatsi al-asghari lil-Lahi ta’ala"
(Aku berniat wudlu untuk menghilangkan hadats kecil, karena Allah Ta’ala).

Kedua, membasuh wajah.
Batasan wajah yang wajib dibasuh dalam wudlu adalah jika arah memanjang adalah anggauta di antara tempat tumbuhnya rambut kepala secara umum dan di bawah kedua daging geraham luar (lahyayni),
yaitu kedua tulang besar yang berada di samping bahwa wajah yang di dalam mulut merupakan tempat tumbuhnya gigi-gigi bawah. Sedangkan batasan wajah jika melebar yaitu anggauta di antara kedua telinga.

Ketiga, membasuh kedua tangan beserta sikut.
Segala sesuatu yang ada pada batasan tangan, baik berbentuk rambut, kutil, atau kuku, maka wajib dibasuh.

Keempat, membasuh sebagian kepala.
Maksudnya adalah jika kepala seseorang yang berambut,
maka sudah dianggap cukup jika membasuh sebagian rambut yang menempel di atas kepalanya.
Tapi kepala seseorang yang tidak ditumbuhi rambut, maka sebagian kulit kepalanya lah yang dibasuh. Tidak diwajibkan untuk membasuh seluruh kepala.

Kelima, membasuh kedua kaki bersama kedua mata kakinya. Maksudnya segala sesuatu yang ada pada kaki, seperti rambut, kutil, kuku, dll maka wajib dibasuh

Keenam, tartib.
Artinya mendahulukan anggauta yang harus didahulukan dan mengakhirkan anggauta yang harus didahulukan.
Tidak boleh mendahulukan anggatua yang semestinya dibasuh pada runutan akhir, dan mengakhirkan anggota yang semestinya dibasuh pertama.
Namun,
jika ada seseorang yang sedang mandi dengan menceburkan dan mekasukkan tubuhnya secara keseluruhan di sebuah lautan, danau atau sungai yang bersih, dengan niat berwudlu maka sah dan tartibnya dikira-kirakan saja.





NIAT DALAM WUDHU

Anniyyatu Qoshdu Asy-Syaii Muqtarinan Bifi’lihi .
Wa Mahalluhaa Al-Qolbu .
Wattalaffuzhu Bihaa Sunnatun .
Wa Waqtuhaa ‘Inda Ghosli Awwali Juz’in Minal wajhi .
Wattartiibu An Laa Tuqoddima ‘Udhwan ‘Alaa ‘Udhwin

Dan niat yaitu memaksudkan sesuatau berbarengan dengan perbuatannya .
Dan tempat niat adalah hati .
Dan melafazdkan dengannya adalah sunah .
Dan waktunya ketika membasuh awal bagian daripada wajah .
Dan tertib yaitu bahwa tidak didahului
satu anggota atasa anggota yg lain

Penjelasan :
Pengertian Niat dan Tartib
Definisi niat menurut kebahasaan adalah menyengaja (qashdu), dan menurut istilah niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan mengejakannya.
Sebab, jika pekerjaannya diakhirkan maka dinamakan ‘azam (cita-cita), jadi bukan niat lagi.
Tempatnya niat adalah di hati.
Berarti jika niat dalam konteks wudlu, maka niat dihadirkan dalam hati ketika mengerjakan pekerjaan bembasuh wajah sebagai pekerjaan pertama dalam wudlu.

Tartib artinya mendahulukan anggota yang harus didahulukan dan mengakhirkan anggauta yang harus didahulukan.
Tidak boleh mendahulukan anggatua yang semestinya dibasuh pada runutan akhir, dan mengakhirkan anggota yang semestinya dibasuh pertama.




AIR UNTUK BERSUCI

Walmaau Qoliilun Wa Katsiirun
Al-Qoliilu Maa Duunal Qullataini
Walkatsiiru Qullataani Fa Aktsaru.
Dan air itu yaitu sedikit dan banyak
Yang sedikit adalah air yg kurang dari 2 kullah
Dan yang banyak yaitu 2 kullah atau lebih

2 Kullah bila diukur dengan liter yaitu 216 liter kurang lebih , bila diukur wadahnya yaitu 60 cm X 60 cm x 60 cm
Air yg kurang dari 2 kullah menjadi musta’mal bila terciprat air bekas bersuci yaitu bila terciprat air basuhan yg pertama karna basuhan yg pertamalah yg wajib
Adapun bila air itu kurang dari 2 kullah maka lebih baik dicedok dengan gayung jangan dikobok
Demikianlah jawaban kami,
semoga Anda dapat memahaminya
Wallahu Yahdi Ila Showaissabil

Al-Qoliilu Yatanajjasu Biwuquu’innajaasati Fiihi Wain Lam Yataghoyyar
Dan air yg sedikit menjadi najis ia dengan kejatuhan najis padanya walaupun tidak berubah rasa , warna , dan baunya .
Walkatsiiru Laa Yatanajjasu Illaa Idzaa Taghoyyaro Tho’muhu , Aw Lawnuhu , Aw Riihuhu .
Dan air yang banyak tidaklah ia menjadi najis kecuali jika berubah rasa , atau warnanya , atau baunya
Penjelasan Makna:

Jenis Air

وعَنْ عَبدِ اللهِ بنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رسولُ الله صلى اللهُ عليه وسلم: إِذَا كَانَ المَآءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحمِلِ الخَبَثَ، وفي لَفْظٍ: لَمْ يَنْجُسْ، أَخْرَجَهُ الأَرْبَعَةُ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ والحاكمُ وابْنُ حِبَّانَ

Dari Abdullah bin Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda
“Apabila jumlah air mencapai dua qullah, tidak membawa kotoran. Dalam lafadz lainnya, Tidak membuat najis”.

Ibnu Khuzaemah, Al-Hakim dan Ibnu HIbban menshahihkan hadits ini. Sehingga ketentuan air harus berjumlah 2 qullah bukan semata-mata ijtihad para ulama saja, melainkan datang dari ketetapan Rasulullah SAW sendiri lewat haditsnya.

Istilah qullah adalah ukuran volume air yang digunakan di masa Rasulullah SAW masih hidup. Bahkan dua abad sesudahnya, para ulama fiqih di Baghdad dan di Mesir pun sudah tidak lagi menggunakan skala ukuran qullah. Mereka menggunakan ukuran rithl yang sering diterjemahkan dengan istilah kati.

Sayangnya, ukuran rithl ini pun tidak standar, bahkan untuk beberapa negara-negara Arab sendiri. Satu rithl air buat orang Baghdad ternyata berbeda dengan ukuran satu rithl air buat orang Mesir.

Dalam banyak kitab fiqih disebutkan bahwa ukuran volume dua qulah itu adalah 500 rithl Baghdad. Tapi kalau diukur oleh orang Mesir, jumlahnya tidak seperti itu. Orang Mesir mengukur dua qullah dengan ukuran rithl mereka dan ternyata jumlahnya hanya 446 3/7 Rithl.

Orang-orang Syam mengukurnya dengan menggunakan ukuran mereka yang namanya rithl jumlahnya hanya 81 rithl. Namun demikian, mereka semua sepakat volume dua qullah itu sama, yang menyebabkan berbeda karena volume satu rithl Baghdad berbeda dengan volume satu rithl Mesir dan volume satu rithl Syam.

Para ulama kontemporer kemudian mencoba mengukurnya dengan besaran zaman sekarang.
Dan ternyata dalam ukuran masa kini kira-kira sejumlah 270 liter. Demikian disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, jilid 1/ hal.60.

Air yang kurang dari 270 liter terkasuk bukan air dua qullah jika kejatuhan najis atau benda najis, maka air menjadi najis meskipun karakter air tidak berubah baik warna, rasa dan baunya. Sedangkan air yang mencapai 270 liter atau lebih termasuk air banyak, jika kejatuhan najis maka tidak menjadi najis apabila karakter airnya tidak berubah baik warna, rasa dan bau. Namun jika mengalami perubahan baik warna, rasa atau baunya, maka menjadi air yang najis.

Persoalan air dalam suatu wadah jumlahnya kurang dari 270 liter, lalu digunakan untuk berwudhu, mandi janabah atau kemasukan air yang sudah digunakan untuk berwudhu`, maka air itu dianggap sudah musta`mal. Air itu suci secara fisik lahiriyah, tapi tidak bisa digunakan untuk bersuci . Tapi bila bukan digunakan untuk wudhu` seperti cuci tangan biasa, maka tidak dikategorikan air musta`mal.

Namun kalau kita telliti lebih dalam, ternyata pengertian musta`mal di antara fuqoha mazhab masih terdapat variasi perbedaan. Sekarang mari coba kita dalami lebih jauh dan kita cermati perbedaan pandangan para fuqaha tentang pengertian air musta’mal, atau bagaimana suatu air itu bisa sampai menjadi musta’mal:

a. Ulama Al-Hanafiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu` sunnah atau mandi sunnah. Tetapi secara lebih detail, menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta`mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta`mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu` atau mandi.

Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta`mal. Bagi mereka, air musta`mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.
Keterangan seperti ini bisa kita lihat pada kitab Al-Badai` jilid 1 hal. 69 dan seterusnya, juga Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 hal. 182-186, juga Fathul Qadir 58/1,61.

b. Ulama Al-Malikiyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats .
Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan bahwa yang musta`mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta`mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan syah digunakan untuk mencuci najis atau wadah. Air ini boleh digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah.

Keterangan ini bisa kita dapati manakala kita membukan kitab As-Syahru As-Shaghir 37/1-40, As-Syarhul Kabir ma`a Ad-Dasuqi 41/1-43, Al-Qawanin Al-Fiqhiyah hal. 31, Bidayatul Mujtahid 1 hal 26 dan sesudahnya.

c. Ulama Asy-Syafi`iyyah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta`mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`.

Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta`mal. Termasuk dalam air musta`mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta`mal kalau sudah lepas/ menetes dari tubuh.
Air musta`mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan. Silahkan lihat pada kitab Mughni Al-Muhtaj 1/20 dan Al-Muhazzab jilid 5.

d. Ulama Al-Hambaliah
Air musta`mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil atau hadats besar atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya.
Selain itu air bekas memandikan mayit pun termasuk air musta`mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta`mal. Seperti membasuh muka yang bukan dalam rangkaian wudhu`. Atau mencuci tangan yang bukan dalam kaitan wudhu`.
Dan selama air itu sedang digunakan untuk berwudhu` atau mandi, maka belum dikatakan musta`mal. Hukum musta`mal baru jatuh bila seseorang sudah selesai menggunakan air itu untuk wudhu` atau mandi, lalu melakukan pekerjaan lainnya dan datang lagi untuk wudhu`/ mandi lagi dengan air yang sama. Barulah saat itu dikatakan bahwa air itu musta`mal. Mazhab ini juga mengatakan bahwa bila ada sedikit tetesan air musta`mal yang jatuh ke dalam air yang jumlahnya kurang dari 2 qullah, maka tidak mengakibatkan air itu menjadi `tertular` kemusta`malannya.
Air ada dua Macam; air yang sedikit (ma’ al-qalil) dan air banyak (ma’ al-katsir). Air sedikit batasannya adalah air yang kurang dari dua qullah. Sedangkan air yang tergolong banyak adalah air yang mencapai dua qullah atau lebih.
Istilah qullah adalah ukuran volume air, memang asing buat telinga kita. Sebab ukuran ini tidak lazim digunakan di zaman sekarang ini. Kita menggunakan ukuran volume benda cair dengan liter, meter kubik atau barrel.
Ukuran jumlah air dua qullah sesungguhnya bersumber dari hadits nabawi.

◆◆

Tidak ada komentar:

Posting Komentar