Kamis, 31 Januari 2019

TERJEMAH SAFINATUN NAJA DAN KASIFATUS SAJA LENGKAP (Bagian 6)

TERJEMAH SAFINATUN NAJA DAN KASIFATUS SAJA ( BAGIAN 6)


◆◆UDZUR SHALAT◆◆

An-Naumu Wannisyaanu
Udzur-udzurnya sholat itu ada2:
Tidur dan lupa
Syarh atau Penjelasan

Waktu Shalat yang lima waktu, subuh, dzuhur, asar, maghrib dan isya, sudah ditetapkan batas waktunya.
Umat Islam dituntut dalam melaksanakan shalat harus tepat pada waktunya yang telah dibatasi.
Shalat yang dilakukan dalam waktunya disebut sebagai shalat adha’.
Namun ada dua sebab yang bisa diperbolehkannya shalat dilaksanakan di luar waktu yang telah ditentukannya,
atau sholat di luar waktunya,
yaitu karena tidur dan lupa.

Sedangkan sholat yang dikerjakan di luar waktunya disebut sebagai sholat qadha.

Tidur atau tertidur dan lupa adalah yang menyebabkan diperbolehkannya seseorang untuk melaksanakan shalat di luar waktu yang telah ditentukan atau shalat qadha, dan ia tidak berdosa.

Pertama, tidur atau tertidur.
Artinya tidur yang tidak sembarangan dan yang betul-betul lena dan nyenyak sehingga seseorang tidak dapat bangun tetap pada waktu shalat, maka diperbolehkan shalat di luar waktunya.

Jika seseorang bangun dari tidurnya pada waktu yang mencukupkan atau memadai untuk melaksanakan wudhu dan shalat, maka ia diwajibkan untuk sesegera mungkin melaksanakannya agar tidak keluar waktu.
Tapi jika seseorang bangun dari tidurnya pada waktu yang hanya cukup untuk berwudhu saja, tidak bisa mencakup untuk sekalian shalat, maka ia tidak diwajibkan melakukannya dengan secara terburu-buru dan tidak wajib mempersegera melaksadakan shalat qadha,
meski ada sisa waktu yang cukup untuk melaksanakan wudhu dan tidak mencukupi untuk melaksanakan satu rakaat pun.


Etika orang yang hendak melaksanakan shalat qadha,
hendaknya seseorang mengdahulukan shalat qadha-nya dan kemudian baru melaksanakan shalat adha-nya.

Semisal, seseorang yang terlena tidur di waktu dzuhur sampai terbangun dari tidur pada saat sudah keluar waktu dan memasuki waktu shata Ashar,
maka ia harus terlebih dahulu melaksanakan shalat Dzuhur, kemudian disusul dengan shalat Asahar.

Jika seseorang yang telah tertidur pada hari Jumat sampai tidak bisa mengikuti shata Jumat,
maka ia harus meng-qadhai dengan cara melaksanakan shalat dzuhur, bukan shalat Jumat.

Sebab shalat Jumat dapat dilaksanakan kalau memenuhi syarat dan rukunnya, di antara syaratnya adalah harus berjamaah minimal sengan 40 orang jamaah.

Sedangkan qadha merupakan persoalan kasuistik dan udzur, yang tidak mungkin dilaksanakan secara berjamaan dengan 40 orang.
Maka ia harus meng-qadha dengan shalat dzuhur.
Dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim menyatakan bahwa
“Barang siapa yang tertidur atau lupa sehingga meninggalkan shalat, maka lakukanlah shalat pada saat terjaga atau pada saat sudah ingat”.
Meski demikian, nabi memberikan peringatan bahwa jika tidurnya tidak sembarangan atau tidak sembrono tanpa disengaja, maka ia boleh meng-qadha dan tidak berdosa. Sebagaimana hadits Nabi yang mengatakan bahwa
“Tidak ada kesembronoan dalam tidur, yang mengakibatkan seseorang tidak shalat sehingga masuk waktu shalat yang lain”.

Dengan demikian, jika seseorang tertidur sembarangan,
Selain ia berdosa tetapi j7ga wajib melaksanakan shalat qadha.

(Peringatan);
Banyak tidur adalah salah satu penyebab yang bisa mengakibatkan orang kaya menjadi miskin, dan menambah parah atau bertambah kemiskinannya bagi orang yang miskin.

Kedua, lupa.
Artinya seseorang lupa jika ia belum shalat,
maka ia diharuskan meng-qadha dan tidak mendapatkan dosa.

Akan tetapi penyebab lupan buka dikarenakan kesembronoan atau disebabkan aktifitasi yang sia-sia,
seperti maen catur, atau tidak disebabkan mengerjakan maksiat.

Namun jika sebaliknya,
lupa disebabkan mengerjakan sesuatu yang tidak bermanfaat atau mengerjakan maksiat, maka selain ia tetap harus mengerjakan shalat qadha tapi ia juga mendapatkan dosa, sebab lupa meninggalkan shalat lantaran mengerjakan maksiat atau melakukan hal yang tidak bermanfaat.

Berkaitan dengan hadits yang menjelaskan lupa sebagai penyebab meninggalkannya shalat sudah disebutkan di atas, dalam pembahasan tidur atau tertidur sebagai salah satu penyebab meninggalkan shalat.

Shalat qadha bagaikan hutang yang harus dibayar oleh siapa pun yang menginggalkan shalat pada waktu yang ditentukan.

◆◆_______________◆◆◆_____________◆◆

◆◆SYARAT SHOLAT◆◆

Syuruuthush-Sholaati Tsamaaniyyatun :
Ath-Thohaarotu ‘Anil Hadatsaini Al-Ashghori Wal Akbari,
Wath-Thohaarotu ‘Aninnajaasati Fits-tsaubi Walbadani Wal Makaani ,
Wasatrul ‘Auroti ,
Wastiqbaalul Qiblati ,
Wadukhuulul Waqti ,
Wal’ilmu Bifardhiyyatihaa ,
Wa An Laa Ya’taqida Fardhon Min Furuudhihaa Sunnatan , wajtinaabul Mubathilaati.
Al-Ahdatsu Itsnani :
Ashghoru Wa Akbaru,

Al-Ashghoru
Maa Awjabal Wudhuua
Wal Akbaru Maa Awjabal Ghosla.

Al-’Aurootu Arba’un:
‘Auroturrojuli Muthlaqon Wal Amati Fishsholaati Maa Bainassurroti Warrukbati ,

Wa ‘Aurotul Hurroti Fishsholaati Jamii’u Badanihaa
Maa Siwal wajhi Wal Kaffaini

Wa ‘Aurotul Hurroti Wal Amati ‘Indal Ajaanibi Jamii’ul Badani Wa ‘Inda Mahaarimihaa Wannisaai Maa Bainassurroti Warrukbati.

Syarat-syarat sholat yaitu 8 :

Syarat-syarat sholat yaitu 8 :
Suci dari 2 hadas yakni hadats kecil dan hadas besar ,
dan suci dari segala najis pada pakaian
dan badan
dan tempat ,
dan menutup aurat ,
dan menghadap kiblat ,
dan masuk waktu ,
dan mengetahui dengan fardhu-fardhunya ,
dan bahwa jangan ia beri’tiqod akan yg fardhu daripada fardhu-fardhu sholat
akan sunah,
dan meninggalkan segala yg membatalkan sholat.

Syarh atau Penjelasan
Syarat Shalat
Syarat Shalat ada delapan.
Syarat adalah segala sesuatu yang menentukan ke-sah-an shalat.
Sebagaimana rukun.
Namun, perbedaannya yaitu syarat adalah segenap sesuatu yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan shalat, sementara rukun adalah segenap sesuatu yang harus dipenuhi pada saat shalat dilaksanakan.

Kedua-duanya, syarat dan rukun, harus terpenuhi demi ke-sah-an shalat.
Jika tidak dipenuhi salah satunya atau tidak dipenuhi sebagian dari syarat dan rukun, maka shalat tidak bisa dianggap sah.

Karena itu, sah dan tidaknya shalat sangat tergantung pada terpenuhinya syarat dan rukun yang telah ditentukan.

Syarat shalat yang pertama, suci dari kedua hadats,
yaitu hadats kecil seperti kecing dan berak, dan hadats besar seperti keluar seperma (mani) akibat bersetubuh suami-istri atau dengan sebab yang lainnya, seperti bermimpi, dll.,
yang diharuskan mandi junub.

Syarat kedua, suci dari najis dalam pakean, badan dan tempat seseorang yang melaksanakan shalat.
Yang dimaksud dengan najis tersebut adalah najis yang la yu’fa ‘anhu (tidak bisa dimaklumi menurut syariah).

Perlu diketahui bahwa najis ada empat macam.
Pertama, najis yang tidak dapat dimaklumi (ya yu’fa ‘anhu) menurut syariat baik menempel di baju atau di dalam air.
Najis jenis ini sudah kita kenal bersama, yaitu najis yang biasa kita fahami, seperti kotoran orang, darah, dll.

Kedua, najis yang dapat dimaklumi menurut syariat baik di baju atau pun di pakean. Seperti najis yang tidak bisa dilihat dengan penglihatan yang wajar dan biasa.
Artinya dilihat dengan mata telanjang, tanpa menggunakan alat pembesar, seperti Miskroskup, dll.

Ketiga, najis yang tidak dapat dimaklumi menurut syariat jika menempel dalam pakean tapi dimaklumi (ma’fu) jika berada di dalam air, seperti darah yang sedikit.
Karena darah sedikit dapat dengan mudah dihilangkan dengan air.
Dan jika menempel di baju, akan mengerahkan tenaga dengan susah payah menghilangkannya dan akan bisa jadi merusak baju akibat terus terusan dibasuh.
Termasuk jenis najis tersebut juga adalah sisa-sisa istinja (bersuci dengan menggunakan batu),
maka dimaklumi atau dimaafkan jika masih ada di badan dan pakean, meskipun sisa-sisa tersebut terbasahi oleh keringat dan terbawa mengalir dan mengenai pakean.
Tapi sisa-sisa istinja tersebut tidak bisa dimaklumi jika berada di dalam air.

Keempat, najis yang dimaklumi jika ada di dalam air, tapi tidak dimaklumi jika menempel di pakean.
Jenis najis tersebut seperti bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir, seperti Kutu (Tuma),
sehingga jika seseorang dengan sengaja pada saat shalatnya membawa Kutu di dalam pakeannya maka shalatnya batal, alias tidak bisa dianggap sah.
Termasuk dalam jenis najis tersebut adalah pantatnya burung yang terdapat najis yang menempel dan burung tersebut jatuh ke dalam air, maka burung tersebut tidak bisa dikatakan menajiskan air.
Dengan kata lain airnya masih dianggap suci.
Akan tetapi berbeda dengan pantat manusia.
Jika seseorang yang pantatnya terkena najis,
maka shalatnya tidak sah.

Menurut Imam as-Syihab ar-Ramly bahwa batasan sedikit dan banyaknya najis dapat diketahui menurut pandangan umum (‘urf), yang menyatakan bahwa jika najis tidak susah terdeteksi dan susah dihindarinya maka termasuk najis yang sedikit (qalyl),
jika lebih dari itu (baca, mudah terdeteksi, jelas dan mudah untuk dihindarinya) maka termasuk najis yang banyak (katsir). Sebab pada dasarnya najis sedikit yang dapat dimaklumi oleh syariat (ma’fu ‘anhu) adalah karena susah untuk dihindari (ta’adzuri al-ikhtiraz).

Sedangkan sebagian ulama berpendapat bahwa batasan banyaknya najis adalah batasan dimana seseorang dapat melihatnya dengan jelas tanpa mengangan-angan, memikirkan dan menelitinya.

Syarat shalat yang ketiga,
menutup aurat.
Batasan menutup aurat dengan sekiranya kulit seseorang tidak dapat dilihat oleh mata orang lain.
Ada perbedaan batasan aurat dalam shalat bagi laki-laki dan perempuan.
Batasan aurat bagi laki-laki yang wajib ditutup adalah anggaota badan di antara pusar sampai dengan lutut.

Sedangkan aurat bagi perempuan yang wajib ditutup adalah sekujur tubuhnya kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.

Orang yang hendak melaksanakan shalat harus menutupi auratnya, meski shalat di kegelapan malam atau berada di tempat yang sepi.
Dan disunahkan bagi seorang yang melaksanakan shalat dengan menggunakan pakian yang terbaik yang dimilikinya.

Syarat shalat yang keempat, menghadap Kiblat.
Kewajiban menghadap Kiblat pada saat seseorang melaksanakan shalat berdasarkan ayat al-Quran yang memerintahkan menghadap Kiblat.
Sebagaimana Allah berfirman;

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُون
َ

“Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram.
Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjid al-Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”.

Dalam ayat tersebut Allah telah memerintahkan lebih dari satu kali memerintahkan kita untuk menghadap kiblat.
Dan ayat tersebut dipertegas dengan ayat yang lain, sebagaimana Allah berfirman;

وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِنَّهُ لَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ, وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَيْكُمْ حُجَّةٌ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِي وَلِأُتِمَّ نِعْمَتِي عَلَيْكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

“Dan dimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram;
sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu.
Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan. Dan darimana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid al-Haram.
Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang dzalim di antara mereka.
Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepadaKu.
Dan agar kesempurnaan nikmatKu atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”.

Ada sebuah ungkapan kaidah yang mengatakan bahwa
“kullu syain mustasnayatun” (Setiap sesuatu ada pengecualiannya).

Sebagaimana dalam persoalan menghadap Kiblat, ada dua keadaan yang mana seorang yang melaksanakan shalat diperbolehkan untuk tidak menghadap Kiblat.

Pertama, keadaan seseorang yang teramat mencekam dalam bayang-bayang ketakutan (syadzid al-khauf).
Seperti kondisi peperangan, dimana jika memaksakan kehendak untuk berusaha menghadap Kiblat, maka akan tertangkap basah oleh musuh dan nyawa pun akan melayang,
Kondisi seperti inilah yang membolehkan seseorang shalat tidak menghadap Kiblat.

Kedua, shalat sunah yang dilaksanakan dalam kondisi bepergian yang diperbolehkan menurut syariat.

Dengan kata lain, perjalanan tidak dalam keadaan atau demi mencapai tujuan yang bernuansa maksiat.

Ketahuilah bahwa terdapat empat derajat kiblat, sesuai dengan kadar dan cara mengetahui eksistensinya.
Pertama, seseorang yang benar-benar melihat dan mengetahui secara langsung Kiblat.

Kedua, mengetahui Kiblat dari informasi seorang yang dapat dipercaya, seperti ia mengatakan; aku melihat sendiri Kiblat.

Ketiga, mengetahui Kiblat melalui ijtihad.

Dan keempat, mengetahui Kiblat melalui taqlid pada mujtahid.





Syarat shalat yang kelima,
masuk waktu.
Mengetahui masuknya waktu secara yakin benar-benar mengetahui secara persis, atau dengan praduga (dhzan) melalui ijtihad yang sungguh-sungguh.
Ada tiga tingkatan dalam mengetahui masuknya waktu shalat.

Pertama, mengetahui sendiri secara langsung, atau mengetahui dari informasi seseorang yang dapat dipercaya, atau melihat petunjuk Bencet yang benar dan tidak rusak, atau mengetahui melalui petunjuk bayang-bayang matahari, atau jam dan Kompas.
Termasuk juga adzan seorang muadzin termasuk petunjuk yang dapat mengetahui masuknya waktu shalat.

Kedua, ijtihat melalui penggalian al-Quran, belajar, mengkaji ilmu, atau menganalisa melalui fenomena alam, seperti kokok Ayam di pagi hari. Harus diteliti apakah kokok ayam telah menunjukkan waktu subuh sudah masuk atau belum.
Maka tidak boleh mengikuti kokok ayah dengan tanpa diteliti dan berijtihan terlebih dahulu.


Ketiga, taklid pada seorang mujtahid. Maka jiaka seseorang mampu berijtihan sendiri, maka tidak boleh mengikuti ijtihan orang lain.
Dengan syarat ia dalam kondisi dapat melihat.
Sementara bagi orang yang buta harus taklid pada mujtahid, meski ia sebenarnya mampu berijtihad.
Karena kebutaannya itu lah sehingga mengakibatkan ia tidak mampu meneliti secara komprehensip dan seksama atas sesuatu.



Syarat Shalat yang keenam adalah mengetahui kefardhuan shalat. Artinya bahwa shalat lima waktu itu diketahui dan diyakini sebagai shalat yang wajib dilaksanakan bagi seluruh umat Islam.



Syarat shalat yang ketujuh adalah tidak meyakini shalat fardhu sebagai pekerjaan yang disunahkan.



Syarat shalat yang kedelapan adalah menjauhi segala sesuatu yang membatalkan shalat.
Hadats ada dua, hadats kecil dan hadats besar.
Hadats kecil adalah hadas yang telah mewajibkan wudhu, seperti kentut. Sedangkan hadas besar adalah hadas yang mewajibkan mandi, seperti Junub, haid, nifas, dan melahirkan.
Batasan aurat terdapat empat macam.

Pertama, aurat laki-laki secara mutlak, baik dalam shalat atau di luar shata, dan budak pada saat shalat adalah anggauta badan di antara pusar sampai dengan lutut.

Kedua, aurat perempuan merdeka pada saat shalat adalah sekujur badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan.

Ketiga, aurat perempuan merdeka dan amat (budak) pada saat di hadapan laki-laki lain adalah seluruh badannya.

Dan keempat, aurat perempuan merdeka dan amat pada saat di hadapan mahramnya atau di hadapan peremuan lain adalah anggauta badan di antara pusar sampai dengan lutut.





◆◆◆◆◆◆◆


بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته





RUKUN SOLAT

TERJEMAHAN SAFINATUN NAJAH

اركان الصلاة سبعة عشر
Arkaanushsholaati Sab’ata ‘Asyaro :

الاول النية
Al-Awwalu Anniyyatu

الثا تكبرة الاحرام

Ats-Tsaani Takbiirotul Ihroomi

الثالث القيام علي القادر

Ats-Tsaalitsu Al-Qiyaamu ‘Alal Qoodiri

الرابع قراءتالفاتحة
Ar-Roobi’u Qirooatul Faatihati

الخامس الركع
Al-Khoomisu Ar-Rukuu’u

اسادس اتمءنينة فيه
As-Saadisu Aththuma’niinatu Fiihi

تلسابع الاعتدل
As-Saabi’u Al-’Itidaalu

الثامن التمءنينة فيه
Ats-Tsaaminu Aththuma’niinatu Fiihi

التاسع السجود مرتين
At-Taasi’u Assujuudu Marrotaini

العاشر التمءنينة فيه
Al-’Aasyiru Aththuma’niinatu Fiihi

الحادي عشر الجلوس بين السجدتين
Al-Haadi ‘Asyaro Aljuluusu Bainassajadataini

الثان عشر التمءنينة فيه
Ats-Tsaani ‘Asyaro Aththuma’niinatu Fiihi

الثالث عشر التشهدالاخرة
Ats-Tsaalitsu ‘Asyaro Attasyahhudul Akhiiru

الرابع عشر القعود فيه
Ar-Roobi’u ‘Asyaro Alqu’uudu Fiihi

الخامس عشر الصلاة علي النبي صلي الله عليه والسلام فيه
Al-Khoomisu ‘Asyaro Ashsholaatu ‘Alannabiyyi Shollallaahu ‘Alaihi Wasallama Fiihi

السادس عشر السلام
As-Saadisu ‘Asyaro Assalaamu

السابع عشر الترتيب
As-Saabi’u ‘Asyaro Attartiibu .

Rukun-rukun Sholat itu ada :
Yang pertama niat,
yg kedua takbirotul ihrom,
yg ketiga berdiri atas orang yg mampu,
yg keempat membaca Fatihah,
yg kelima ruku’
yg keenam tuma’ninah di dalam ruku’
yg ketujuh i’tidal
yg kedelapan tuma’ninah di dalam i’tidal,
yg kesembilan sujud 2 kali
yg kesepuluh tuma’ninah di dalam sujud,
yg kesebelas duduk antara 2 sujud,
yg kedua belas tuma’ninah di dalam duduk antara 2 sujud,
yg ketiga belas tasyahhud akhir,
yg keempat belas duduk di dalam tasyahhud akhir,
yg kelima belas sholawat atas Nabi SAW,
yg keenam belas salam,
yg ketujuh belas tertib

Syarh atau Penjelasan :

Rukun Shalat
Rukun shalat ada tujuh belas.
Pertama, niat.
Tempat niat adalah di hati.
Dan niat dilaksanakan bersamaan dengan pekerjaan pertama dalam shalat, yaitu takbirat al-ihram.
Sedangkan melafadzkan niat dengan lisan adalah disunahkan demi membantu kehadiran niat di dalam hati. Tapi melafadzkan dengan lisan tidak wajib dilakukan.

Kedua, takbirat al-ihram.
Dinamakan takbirat al-ihram, sebab dengan memulai takbir maka secara otomatis segenap sesuatu yang halal sebelum shalat, seperti makan dan berkata-kata, telah diharamkan setelah memasuki takbir shalat tersebut.
Al-ihram adalah pengharaman sesuatu yang halal disebabkan sedang mengerjakan shalat.

Ketiga, berdiri bagi orang yang mampu mengerjakan shalat fardhu dengan berdiri.
Dalil yang dijadikan sebagai dasar pijakan hukum bahwa berdiri adalah salah satu syarat shalat adalah sebuah perkataan Nabi Muhammad SAW kepada
‘Imran bin Husyen pada saat ‘Imran terserang penyakit ambeyen;
“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduklah. Jika tidak mampu duduk, maka tidur lah”.
Hadits yang diriwayatkan Imam al-Bukhari.

Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam an-Nasai ada tambahan redaksi bahwa,
“jika tidak mampu, maka terlentanglah.
Sebab Allah tidak membebani makhluknya, justru Allah memberikan leleluasaan dan kelapangan bagi hambanya untuk beribadah sesuai dengan kadar kemampuannya”.

Jelas bahwa dalam Islam, sungguh sangat lentur dan kompromistis dalam menetapkan rumusan hukum dan kondisional.

Keempat, membaca al-Fatihah.
Cara membaca al-fatihah boleh dengan hafalan,
melihat langsung Mushaf, atau dengan cara mengikuti bacaan sang guru yang melatih atau mengajarinya.
Membaca al-fatihah diwajibkan bagi setiap orang yang mekalsanakan shalat,
baik shalat berjamaah atau sendirian (munfaridl),
baik sebagai imam atau makmum.

Dalil al-Quran yang mewajibkan membaca al-fatihah yaitu;

وَلَقَدْ آَتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآَنَ الْعَظِيمَ

“Dan sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Quran yang agung”. (QS. Al-Hujarat: 87).

Sebagian besar para ulama menafsirkan mab’u al-matsani yang terdapat dalam ayat tersebut adalah surah al-fatihah.

Sebagaimana menurut Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya yaitu Mafatih al-Ghayb atau Tafsir al-kabir menjelaskan bahwa;

إذا عرفت هذا فنقول : سبعاً من المثاني مفهومه سبعة أشياء من جنس الأشياء التي تثنى ولا شك أن هذا القدر مجمل ولا سبيل إلى تعيينه إلا بدليل منفصل وللناس فيه أقوال : الأول : وهو قول أكثر المفسرين : إنه فاتحة الكتاب وهو قول عمر وعلي وابن مسعود وأبي هريرة والحسن وأبي العالية ومجاهد والضحاك وسعيد بن جبير وقتادة ، وروي أن النبي صلى الله عليه وسلم قرأ الفاتحة وقال : هي السبع المثاني رواه أبو هريرة ، والسبب في وقوع هذا الاسم على الفاتحة أنها سبع آيات ، وأما السبب في تسميتها بالمثاني فوجوه : الأول : أنها تثنى في كل صلاة بمعنى أنها تقرأ في كل ركعة . والثاني : قال الزجاج : سميت مثاني لأنها يثنى بعدها ما يقرأ معها . الثالث : سميت آيات الفاتحة مثاني ، لأنها قسمت قسمين اثنين ، والدليل عليه ما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : « يقول الله تعالى قسمت الصلاة بيني وبين عبدي نصفين » والحديث مشهور . الرابع : سميت مثاني لأنها قسمان ثناء ودعاء ، وأيضاً النصف الأول منها حق الربوبية وهو الثناء ، والنصف الثاني حق العبودية وهو الدعاء . الخامس : سميت الفاتحة بالمثاني ، لأنها نزلت مرتين مرة بمكة في أوائل ما نزل من القرآن ومرة بالمدينة . السادس : سميت بالمثاني ، لأن كلماتها مثناة مثل : { الرحمن الرحيم } [ الفاتحة : 3 ] { إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ * اهدنا الصراط المستقيم * صِرَاطَ الذين أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ } [ الفاتحة : 5-7 ] وفي قراءة عمر : ( غير المغضوب عليهم وغير الضالين ) . السابع : قال الزجاج : سميت الفاتحة بالمثاني لاشتمالها على الثناء على الله تعالى وهو حمد الله وتوحيده وملكه .

Jika kita simak ungkapan tersebut bahwa terdapat banyak sekali penafsir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sab’u al-matsani adalah fatihah al-kitab atau surah al-fatihah, seperti pendapat sahabat Umar, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Mas’ud, Abu Hurairah, al-Hasan, Aby Tsa’labah,
Mujahid, al-Dlahhak, Sa’id bin Jabir dan Qatadah telah meriwayatkan hadits yang menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi membaca al-fatihah dan beliau berkata;
sesungguhnya surah al-fatihah ini adalah as-sab’u al-matsany, diriwayatkan oleh Abu hurairah.
Sebab surah al-fatihah dinamakan itu karena al-fatihah terdiri dari tujuh ayat, yaitu as-sab’u.

Sedangkan dinamakan dengan al-matsani terdapat beberapa aspek,
pertama, karena surah al-fatihah selalu dibaca di setiap rakaat dalam shalat.

Kedua—sebagaimana yang dikatakan al-Zajjaj—dinamakan Matsani karena dipuji setelah dibacanya.

Ketiga, sebab al-fatihah di dalamnya terbagi menjadi dua bagian, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits bahwa Nabi berkata bahwa
“Allah mengatakan bahwa aku bagi shalat, yaitu sebagian adalah bagianKu dan sebagian yang lain untuk hambaKu”.

Keempat, dinamakan dengan al-matsani sebab di dalamnya terdapat dua bagian, yaitu tsana’ (pujian dan sanjungan) dan doa, sebagian hak Tuhan (rububiyah) yaitu tsana’ (pujian) dan sebagian lagi hak hamba (‘ubudiyah) yaitu doa. Kelima, al-fatihah dinamakan dengan matsani sebab sebagian ayatnya diturunkan di Makkah dan sebagian lagi di Madinah.

Keenam, dinamakan dengan al-matsani sebab dalam ayat-ayatnya terdapat dua kalimat yang dobel seperti ar-rahman dan ar-rahim, atau iyyaka na’butdzu dan iyyaka nasta’in, dll.

Ketujuh, al-fatihah dinamakan dengan al-matsanai—sebagaimana yang dikatakan al-Zajjaj—karena di dalamnya terdapat pujian, sanjungan dan peng-EsaanNya.

Terdapat banyak hadits Nabi yang menegaskan akan kewajiban membaca al-fatihah dalam shalat.
Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang edua menyatakan bahwa Nabi berkata
“Tidak ada shalat (baca tidak sah) bagi seseorang yang tidak membaca al-fatihah”.

Dan hadits Nabi lain yang diriwayatkan Abu Hurairah bahwa Nabi mengatakan
“Barang siapa yang melaksanakan shalat tidak membaca Ummul-Quran (induk al-quran, yaitu al-fatihah)
maka shalatnya tidak bisa dianggap sempurna”.

Syarat shalat yang kelima, ruku’

Tata cara ruku’ yaitu pertama, meletakkan kedua tepalak tangannya pada kedua lutut.

Kedua, kedua telapak tangan menekan kedua lutut.

Ketiga, merenggangkan jari-jemarinya.

Keempat, merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya.

Kelima, membentangkan dan meluruskan punggung sampai selurus papan tulis atau dapat diibaratkan jika punggung itu dituangkan air dari atasnya maka tidak akan tumpah.

Keenam, membungkukkan punggung tidak terlalu kebawah dan tidak pula mendongkak terlalu ke atas. Tapi di tengah-tengah di antara keduanya.

Syarat shalat yang keenam, tuma’ninah (diam dan bersahaja sejenak) dalam ruku’.
Pada saat tuma’ninan, seseorang disunahkan membaca subhana rabbiya al-‘adhim wa bihamdihi (maha suci Tuhanku yang maha agung) minimal satu kali bacaan, dan lebih baiknya dibaca sebanyak tiga kali bacaan.

Syarat yang ketujuh, i’tidal.
Yang dimaksud i’tidal adalah kembali berdiri dari ruku’. Disunahkan pada waktu i’tidal tepat pada saat mengangkat pundak untuk berdiri dari ruku’ membaca doa “sami’alLahu li-man hamidah”
(Allah maha mendengar hamba yang telah memujiNya)

Syarat kedelapan, tuma’ninah dalam i’tidal,
yaitu diam sejenak berdiri sambil disunahkan membaca doa
“Rabbana laka al-hamdu mil’us-samawati wa mil’ul-ardhi wa mil’u ma sy’tha min syai’in ba’dhu”
(Tuham kami, hanya bagiMu segala puji yang memenuhi langit, bumi, dan segala sesuatu yang telah Engkau inginkan).

Syarat kesembilan, sujud sebanyak dua kali.
Disunahkan pada waktu sujud dengan membaca doa “Subhana rabbiyal-a’la wa bi-hamdihi”
(Maha suci Tuhanku yang maha tinggi, dan dengan menujimu).

Syarat kesepuluh, tuma’ninah (diam dan bersahajah) dalam sujud.

Syarat kesebelas, duduk di antara dua sujud. Pada saat duduk di antara dua sujud disunahkan membaca doa
“Rabby ighfirly warhamny wajburny warfa’ny warzuqny wahdhiny wa’afiny wa’fu ‘anny”

Syarat kedua belas, tuma’ninah dalam duduk di antara dua sujud.

Syarat ketiga belas, tasyahhud al-akhir.

Syarat keempat belas, duduk dalam tasyahhud.

Syarat kelima belas, membaca shalawat pada Nabi dalam tasyahud.

Syarat keenam belas, membaca salam. Ada dua salam,
Yaitu salam pertama dengan memalingkan wajah ke samping kanan dan salam kedua dengan memalingkan wajah ke samping kiri.

Salam pertama hukumnya wajib, karena termasuk syarat shalat. Sedangkan salam kedua hukumnya sunnah.

Salam paling minimal diucapkan; “Assalamu’alaikum”,
dan maksimalnya diucapkan;
“Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”.

Syarat ketujuh belas, tartib.
Artinya menjalankan shalat harus secara tartib (berurutan) mengerjakan satu syarat ke syarat yang lain.

Kewajiban mengerjakan shalat secara tartib sebab dalam hadits disebutkan
“Shalluu kama ra’aytumuny ushally”
(shalatlah kalian seperti kalian melihat langsung saya shalat).

Jadi segenap pekerjaan shalat harus sesuai dengan shalat Nabi. Sedangkan shalat yang dikerjakan Nabi dilaksanakan secara tartib. Maka setiap orang yang mengerjakan shalat pun harus tartib sebagaimana Nabi mengerjakan shalat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar